Adsense

Minggu, 31 Mei 2009

Manusia Vs Syaithan


MANUSIA VS Syaithan
Tatkala Alloh menciptakan Adam, serta memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadanya, maka menolaklah Iblis karena kesombongan yang ada dalam dirinya.
Iblis berkata, ‘Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, sungguh aku akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak mendapati kebanyakan mereka bersyukur’. (QS. Al A’raaf, 6 : 16-17)
Dalam kehidupan manusia senantiasa dalam incaran syaithan, agar syaithan-syaithan itu dapat menjerumuskan manusia dari jalan kebenaran (al haq). Manusia hidup selalu dikepung oleh syaithan. Dalam pepatah Jawa disebutkan ”Wong urip (anak putu Adam) dikepung wakul binoyo mangap dening setan”. Syaithan selalu berusaha agar manusia menyimpang dari jalan yang lurus.
Yang dimaksud dengan jalan yang lurus ialah setiap kebaikan yang mengantarkan kepada keridhaan Alloh seperti hijrah, jihad fii sabilillah (menegakkan kebenaran Al Qur’an dan Sunnah Rasul, termasuk di dalamnya menegakkan keadilan dan kejujuran (akhlaq karimah) dan seluruh ketaatan lainnya yang diridhai Alloh SWT.
Syaithan dalam usaha menjerumuskan manusia dapat melalui arah depan atau belakang. Maksudnya syaithan mendatangi mereka dari segala arah, guna mengelincirkan manusia dari jalan ketaatan, dan syaithan pun memfariasikan kesesatan dalam berbagai bentuk dan warna bagi manusia sehingga ia dapat menjerumuskan manusia ke dalam berbagai kemaksiatan.
Ibnu Abbas r.a. berkata, ”Manusia dihadang/didatangi dari muka supaya manusia menjadi bimbang ragu terhadap kehidupan akhirat dan dari belakang, manusia supaya sangat mencintai dunia (harta, tahta, dan wanita). Dari kanan, manusia dibuat malas terhadap berbagai perintah agama dan meremehkannya. Sedangkan dari kiri, manusia didorong untuk berbuat maksiat”.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa jalan kebaikan akan selalu dihalang-halangi oleh syaithan, sedangkan jalan keburukan dijadikan indah dalam pandangan manusia oleh syaithan. Dalam ayat itu tidak dikatakan ’dari atas manusia’. Ibnu Abbas r.a. menerangkan, ”karena rahmat Alloh turun dari atas mereka (manusia)”.
Sebagai manusia, kita harus senantisa berlindung kepada Alloh SWT dari godaan syaitan, karena syaithan sungguh lihai dan cerdas dalam langkah-langkah untuk menjerumuskan manusia. Dalam proses menjerumuskan manusia, syaithan melakukannya secara perlahan-lahan dan halus, setelah kita merasakan keburukan itu sebagai sebuah kebiasaan, kenyamanan dan kenikmatan maka syaithan melangkah pada tahap-tahap selanjutnya. Dalam sebuah hadits marfu’ disebutkan sebuah do’a yang perlu kita panjatkan agar kita terhindar dari bujuk rayu syaithan.
”Ya Alloh, aku memohon kepada-Mu ampunan dan kebaikan dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan kekayaanku. Ya Alloh, tutupilah hal yang memalukan dari diriku, selamatkanlah aku dari rasa takut, jagalah aku dari depan, belakang, kanan dan dari atasku. Dan aku berlindung kepada-Mu, ya Alloh, dari kebinasaan dari bawahku (gempa bumi, ranjau). (menurut Waki’i)
Setelah mendapatkan segudang kenikmatan, manusia cenderung kufur atas nikmat yang telah diberikan oleh Alloh kepadanya. Dalam ayat itu Alloh sebutkan ’Dan Engkau tidak mendapati kebanyakan mereka bersyukur’. Ucapan Iblis ini hanya merupakan dugaan dan sangkaan mereka, dan dalam kebanyakannya, hal ini memang benar.
Alloh SWT berfirman, ”Dan sesungguhnya Iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman. Dan tidak ada kekuasaan (Iblis) terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya akhirat, dan siapa yang masih ragu-ragu tentang (akhirat) itu. Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (QS. Saba’ 34 : 20-21).
Disampaikan oleh : Ustadz Kusnan Hadi, Pengurus MUI kecamatan Imogiri Bantul

Selasa, 05 Mei 2009

Menjual Produk

MANAJEMEN BISNIS : Menjual Produk
04/05/2009 10:29:25 KEBUTUHAN konsumen terus bertambah seiring berjalannya waktu dan perubahan lingkungan yang dinamis. Karenanya, kini penjual produk harus terus meningkatkan ‘kemampuan dan penguasaannya’ terhadap produk (barang dan jasa) sehingga dapat menjual produk yang dapat memberikan kepuasan optimal kepada konsumennya.
Penjualan produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen dapat dikategorikan dari yang paling rendah (penjualan transaksional), di mana penjual produk melayani kebutuhan konsumen dengan menjual produk tertentu dan konsumen hanya ‘membutuhkan’ penjual produk sampai transaksi produk antarmereka terjadi. Pada penjualan jenis ini, konsumen sudah mengetahui kebutuhan dasar atas produk, dan jenis produk yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Bahkan informasi tentang brand (merek), produk substitusi, harga, serta tempat penjualan sudah dimiliki konsumen. Sehingga setelah transaksi, pemenuhan kebutuhan konsumen sudah dipenuhi penjual. Penjualan produk kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, shampo, dan jasa pengiriman barang, merupakan contoh penjualan transaksional.
Pada level penjualan produk yang lebih tinggi lagi, dapat disebut sebagai penjualan tingkat kedua, yakni penjualan produk bagi konsumen yang membutuhkan optimalisasi fitur dan manfaat produk. Di sini produk-produk yang dibutuhkan konsumen memiliki syarat dapat memenuhi kebutuhan konsumen atas produk dengan tingkat kebutuhan tertentu atau memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Misalnya, kebutuhan akan jasa transportasi udara yang eksklusif diperlukan oleh konsumen yang menginginkan produk yang dapat membawanya dari suatu tempat ke tempat bisnis lainnya serta dapat membangun citra konsumen.
Cara penjualan ini tepat bagi konsumen yang tidak sensitif dengan harga, karena pelayanan yang eksklusif pasti memasang tarif yang relatif tinggi dibanding tarif transportasi ‘biasa’, tepat bagi konsumen yang lebih mementingkan kepuasan yang tinggi, serta ingin bepergian dengan aman, cepat dan menyenangkan. Atau produk mesin cetak dengan teknologi tinggi yang dapat menghasilkan hasil cetakan yang tajam, jernih, penuh warna dengan kecepatan produksi yang tinggi. Produk mesin cetak ini memberikan solusi bagi usaha percetakan yang memiliki masalah pada pesanan hasil cetak dengan tuntutan kualitas tinggi dan harus dapat memenuhi pesanan cetak secara cepat. Pada penjualan produk tingkat kedua ini, penjual harus dibekali pemahaman produk yang tinggi dari seluruh fitur produk ataupun optimalisasi manfaatnya, sehingga penjual dapat memberi solusi atas permasalahan atau kebutuhan konsumen secara tepat. Bahkan seringkali bantuan saran dan konsultasi operasional produk yang dibeli, diperlukan konsumen, sampai pelayanan dan jaminan after salesnya.
Keberhasilan penjualan produk di antaranya tidak lepas dari ketepatan penjual dalam mengidentifikasi pasar sasaran, mengetahui kebutuhan konsumen, ketepatan jenis produk yang dimiliki, pemahaman dan penguasaan penjualan produk, serta kemampuan penjual dalam memenangkan persaingan pasar. Penjualan produk yang dapat memuaskan konsumen diharapkan mampu membangun loyalitas konsumen untuk melakukan pembelian ulang sehingga bisnis terus berkembang. q - g
Drs Nur Feriyanto MSi
Staf Pengajar Pascasarjana Ekonomi UII Yogya.
.

Senin, 04 Mei 2009

Ketika Cinta Bersemi di Hati

Alloh menciptakan manusia dengan cinta-Nya. Dalam setiap tarikan nafas kita. Dalam setiap detak jantung, dalam setiap denyut paru-paru. Semua itu ada karena cinta-Nya kepada setiap makhluk-Nya. Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya Alloh menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Dia tebarkan rasa cinta kepada setiap hamba-Nya. Binatang-binatang berusaha mencari pasangannya, meskipun ia harus bersaing keras untuk mendapatkan pasangannya, bahkan nyawa kadang harus tergadai. Itu yang ada pada sebagian binatang, sementara pada binatang yang lain seperti Merpati misalnya, alangkah indah kehidupan sepasang burung Merpati. Bahkan kita selaku manusia perlu meniru kehidupan keluarga sang Merpati.

Alloh menciptakan makhluk-Nya dengan berpasang-pasangan. Hal ini agar setiap makhluk-Nya dapat bereproduksi dan berkembang-biak sehingga semakin menyemarakkan isi bumi.

Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Alloh menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Alloh mengembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An Nisaa’ 4:1).

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhynya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Ruum, 30:21).

Hai manusia, sesungguyhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kami berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh ialah yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Alloh maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat, 49: 13).

Islam menganggap, cinta merupakan sesuatu yang agung dan mulia. Cinta memiliki hubungan dekat dengan iman. Kesalahan dalam bercinta akan bisa berakibat kesalahan dalam keimanan. Oleh karena itu, Islam tidak menelantarkan dan menyalahgunakan cinta, menjadikannya komoditi, permainan, disejajarkan dengan nafsu kebinatangan. (Al Izzah edisi 45 Th. VI, 21 Sya’ban 1416 H/12 Januari 1996).

Cinta adalah fitrah manusia. Manusia akan sangat cinta kepada harta, perniagaan ataupun istri/wanita. Hal ini disinyalir oleh Alloh SWT dalam firman-Nya:

Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Alloh dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusan-Nya. Dan Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS. At taubah, 9: 24).

Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana kita semestinya menempatkan perasaan cinta tersebut? Kalau kita menempatkan cinta kepada Alloh, Rasul-Nya dan berjihad di atas perasaan cinta yang lain, maka selamatlah kita, tetapi ketika cinta kita kepada Alloh, Rasul-Nya dan berjihad lebih rendah daripada cinta kepada kerabat, istri, harta, maka Alloh akan mendatangkan adzab-Nya. Fenomena cinta dunia (Hubbudunya) telah melanda sebagian besar umat manusia. Tinggal kita menempatkan perasaan cinta tersebut sesuai dengan tempatnya yang semestinya.

Cinta kepada Alloh semestinya menjadi dasar cinta kita, karena dalam setiap gerak langkah kita ada karena cinta Alloh kepada hamba-Nya.

Imam Al Ghazali berkata, “Barangsiapa yang mengakui empat hal tanpa melakukan yang empat, maka dia adalah pembohong. (1). Barangsiapa yang mengaku cinta surga, namun tidak beramal dengan taat, maka dia pembohong. (2). Barangsiapa yang mengaku takut terhadap neraka dan ia tidak meninggalkan maksiat, itupun pembohong. (3) Barangsiapa yang mengaku cinta terhadap Alloh, sementara ia selalu resah akan siksa-Nya, maka dia adalah pembohong”. (Al Ghazali,

Robi’ah berkata, “Engkau durhaka terhadap Tuhan, sedangkan engkau menampakkan kecintaan kepada-Nya; demi umurku sebagai taruhan (ukuran), maka itu merupakan sesuatu yang aneh. Andaikan cintamu benar, artinya engkau mentaati-Nya, karena orang yang cinta akan selalu patuh terhadap yang dicintai”.

Asy Syubali berfatwa, “Orang-orang yang punya rasa cinta terhadap Alloh akan mereguk minuman dari segelas cintanya, dan bagi mereka negeri dan bumi amat sempit. Mereka minum dan tenggelam dalam lautan rindu kepada-Nya, dan mereka merasakan kenikmatan bermunajat kepada-Nya.”

Asy Syubali bersyair, “Ingat yang dicintai wahai tuanku, akan membuat aku mabuk: dan apakah engkau pernah melihat orang bercinta tanpa dirasuki mabuk kepayang!”.

Ada yang berkata, “Sesungguhnya seekor unta yang lagi mabuk, ia tidak akan mau makan rumput selama 40 hari. Namun bila dibebankan di punggungnya, iapun akan membawa beban itu. Manakala sekerat hati mengebu-ngebu ingat terhadap kekasih, iapun enggan memasukkan makanan dan tidak peduli beban di punggung tetap ditanggung demi rindunya terhadap kekasih. Unta saja bisa meninggalkan kesenangan yang diharamkan Alloh! Apakah kamu enggan menambah beban berat demi Alloh Ta’ala! Kalau kamu tidak mampu, artinya pengakuanmu menyatakan cinta tinggal nama tanpa suatu makna. Tidak akan berguna di dunia maupun di akherat, juga dihadapan sesama makhluk atau kelak di dunia maupun kelak di hadapan Sang Pencipta.”

Ali kw. Berkata, “Barangsiapa yang merindukan syurga, tentu ia berkemas-kemas menuju segala bentuk kebajikan. Dan barangsiapa yang takut terhadap neraka, iapun akan mencegah nafsunya dari yang disenangi. Dan barangsiapa yang meyakini mati, pasti semua kenikmatan dunia dianggap remeh.”

Maraji’:

Al Izzah edisi 45 Th. VI, 21 Sya’ban 1416 H/12 Januari 1996

Jumat, 01 Mei 2009

Partisipasi Politik

Politik merupakan salah satu dimensi yang sangat urgen dalam diinul Islam. Ia merupakan bagian dari sistem Islam. Islam adalah diin yang meliputi semua dimensi kehidupan manusia. Dunia politik mampu menyebabkan perbaikan kehidupan manusia, tetapi ia juga dapat menyebabkan rusaknya tatanan kehidupan. Politik bagaikan dua buah mata pedang, yang siap menikan kebaikan ataupun keburukan. Pemanfaatan politik tergantung siapa yang berada dibaliknya. Jika para politisi diisi oleh orang-orang yang buruk, maka politik akan mengakibatkan kehancuran tetapi jika para politisinya adalah orang-orang yang baik, maka politik akan membuahkan kebajikan dan kemaslahatan bagi umat manusia.

Dalam benak kita, pernah dirasuki bahwa dunia politik adalah kotor, sehingga orang-orang yang baik tidak perlu memasuki dunia politik atau menjadi politisi. Pemikiran ini sengaja disebarkan oleh musuh-musuh Islam agar umat Islam tidak pernah bersentuhan dengan politik dan akhirnya meninggalkan salah satu dimensi penting dalam kehidupan manusia. Abu Ridha mengungkapkan:

Memang perjalanan sejarah kontemporer kaum Muslimin pernahmelalui satu fase di mana sebagian dari mereka memandang siyasah sebagai sesuatu yang tidak penting, bahkan kotor dan menjijikkan. Mereka menganggap siyasah sebagai sesuatu yang harus dienyahkan dari kerangka dan wacana berfikir atau aktivitas seorang Muslim, lebih-lebih aktivitas dakwah. Seolah-olah siyasah menjadi pohon larangan yang penuh kutukan yang tidak boleh didekati apalagi dicicipi buahnya. Siapa saja yang mencoba mendekatinya akan terkena kutukan dan bisa jadi membawa dampak buruk yang sangat luas terhadap kehidupan umat. Dampak buruk yang diakibatkannya bukan saja menimpa orang-orang yang sama sekali tidak terlibat dalam urusan siyasah. Akibatnya para politisi dianggap sebagai orang yang terkena lepra yang harus dikucilkan dari kehidupan umum. Mereka berlindung kepada Alloh agar (terhindar-pen) dari penyakit rajulun siyasi (politisi); “Aku berlindung dari siyasah dan rajulun siyasi.”

Kebangkitan Islam (Shahwah Islamiyyah) yang terjadi di berbagai negeri turut mengubah sebagian pandangan di atas, sehingga sebagian dari kalangan kalangan kaum Muslimin. Kita tidak lagi memandang politik sebagai dunia yang tabu, melainkan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan kemuliaan bai Islam dan kaum Muslimin (‘izzul Islam wa Muslimin). Abu Ridha mengungkapkan:

Namun, dengan semakin meluasnya kebangkitan Islam dan terkuaknya kenyataan bahwa penjajahan siyasah yang selama ini berlangsung telah menghancurkan seluruh milik umat, muncul suatu kesadaran baru dari kalangan kaum Muslimin bahwa siyasah merupakan bagian dari kehidupan lainnya seperti: ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya. Bahkan, akhir-akhir ini di kalangan kaum Muslimin tumbuh kesadaran yang semakin meningkat bahwa siyasah adalah sesuatu yang melekat pada lingkungan hidup manusia yang tak mungkin diabaikan, apalagi dienyahkan jauh-jauh. Agaknya peningkatan kesadaran dan wawasan keIslaman Muslim setelah sekian lama dikungkung oleh kejumudan diri dan tipu daya kaum penjajah. Peningkatan kesadaran itu sejalan pula dengan kepesatan perkembangan dan kompleksitas kehidupan manusia.

Setelah memiliki pola fakir dan kesadaran politik, umat Islam mengaktualisasikan pemahaman politiknya dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik. Partisipasi politik umat Islam berangkat dari kesadaran dan pemahaman tentang urgensi politik bagi kehidupan umat.

Pengertian Partisipasi Politik

Sa’d Ibrahim Jum’ah

Partisipasi politik didefinisikan sebagi keikutsertaan warga Negara dengan bentuk yang terorganisir dalam membuat keputusan-keputusan politik, dengan keikutsertaan yang bersifat sukarela dan atas kemauannya sendiri, didasari oleh rasa tanggung-jawab terhadap tujuan-tujuan sosial secara umum, dan dalam koridor kebebasan berfikir, bertindak, dan kebebasan mengemukakan pendapat.

Mayron Weiner

Partisipasi politik adalah kegaitan sukarela yang bertujuan memberikan pengaruh agar memilih strategi umum, atau memilih pemimpin-pemimpin politik tingkat regional maupunnasional. Sama saja, apakah kegiatan tersebut berhasil atau tidak, terorganisir atau tidak, berkesinambungan atau hanya bersifat temporal.

Ismail Ali Sa’d

Partisipasi politik adalah kontribusi atau keikutsertaan warga dalam masalah-masalah politik di lingkup masyarakatnya, dengan mendukung atau menolak, membantu atau melawan, dan seterusnya.

Dr. Kamal Al Manufi

Partisipasi politik adalah hasrat individu untuk berperan aktif dalam kehidupan politik melalui pengelolaan hak bersuara atau pencalonan untuk lembaga-lembaga yang dipilih, mendiskusikan persoalan-persoalan politik dengan orang lain, atau bergabung dengan organisasi-organisasi mediator.

Partisipasi politik adalah partisipasi warga dalam menentukan urusan-urusan masyarakatnya, melalui –di samping yang sebelumnya- usaha untuk menghadapi berbagai persoalan yang menimpa masyarakat sebagai satu kesatuan, dan memberikan kontribusi dalam usaha perjuangan.

Ali Jalbi

Ia adalah aktivitas yang dengannya individu dapat memainkan peran dalam kehidupan politik masyarakatnya, sehingga ia mempunyai kesempatan untuk memberi andil dalam menggariskan tujuan-tujuan umum kehidupan masyarakat tersebut, dan dalam menentukan sarana terbaik untuk mewujudkannya. Hal itu dilakukan melalui kegiatan-kegiatan politik secara langsung. Misalnya pencalonan diri dalam pemilihan umum, diskusi problematika umum, ikut dalam kampanye-kampanye politik: atau melalui kegiatan-kegiatan politik tak langsung.

Sayyid Salamah Al Khumaisiy

Partisipasi politik adalah:

  • Hasrat kuat individu untuk melakukan peran politik secara aktif. Peran ini bermacam-macam bentuknya.
  • Peran ini memiliki kelebihan disbanding sekedar kemauan.
  • Terkadang dengan bentuk formal, seperti berafiliasi kepada suatu partai politik tertentu, dan terkadang dengan nbentuk nonformal, seperti demonstrasi massa.
  • Terkadang peran ini hanya terbatas pada tingkat regional yang sempit, terkadang meluas sampai tingkat nasional, dan terkadang meliputi kedua tingkat itu sekaligus.

Urgensi Partisipasi Politik

Urgensi partisipasi politik akan tampak jelas jika kita lihat beberapa hal berikut:

Pertumbuhan demokarasi –dengan formatnya yang benar- sangat tergantung kepada sejauhmana keikutsertaan anggota masyarakat secara aktif dalam menentukan dan merealisasikan tujuan-tujuan politik. Yakni tergantung kesempatan berpartisipasi yang diberikan kepada mereka, dan bahkan dijadikan sebagai hak yang dapat dinikmati oleh setiap warga Negara, tanpa kecuali.

Di samping itu, ia juga menyebabkan terbentuknya oposisi yang kuat dan kokoh melawan autokrasi.

Partisipasi politik merupakan media fundamental untuk memperdalam rasa tanggung-jawab pada diri pengausa maupunrakyat, dan merupakan sarana untuk memperkokoh pemerintahan kolektif.

Ia merupakan media yang efektif agar para partisipan merasa dihormati dan dihargai.

Ia menyadarkan para partisipan akan hak dan kewajiban mereka, serta memperluas koridor kesadaran politik melalui berbagai pengalaman dan wawasan politik yang lahir darinya. (Sa’d Ibrahim Jum’ah dalam Utsman Abdul Mu’iz Ruslan).

Partisipasi Politik dan Pergerakan Dakwah

Partisipasi politik pada saat ini merupakan salah satu kebijakan yang ditempuh oleh sebagian pergerakan dakwah (harokah da’wah). Hal ini dimungkinkan, karena dengan terlibatnya Pergerakan Da’wah dalam kehidupan politik akan mampu memperluas dakwah serta dapat menerapkan hal-hal (syari’at) yang tidak dapat diterapkan kecuali dengan kekuasaan.

Atas pertimbangan strategis yang mencakup dinamika politik global (tathawwurat as siyasah al ‘alamiyah), dinamika politik regional (tathawwurat as siyash al iqlimiyah) dan dinamika politik lokal (tathawwurat as siyasah al mahaliyah), maka disimpulkan bahwa jalur perjuangan konstitusional merupakan cara yang paling kecil resikonya terhadap umat dan dakwah. Hal ini dipilih atas pertimbangan pemeliharaan kondisi, baik umum maupun khusus, agar dakwah mendapatkan kemanfaatan yang besar dengan pengorbanan yang sesedikit mungkin.

Sebentar lagi di negeri ini akan digelar berbagai Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADAL). Ini merupakan kesempatan yang baik bagi Pergerakan Dakwah ataupun Ormas-Ormas Islam untuk menguji sejauhmana penerimaan masyarakat terhadap dakwah. Sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) yang ada di negeri ini, menunjukkan bahwa masih banyak beban yang harus ditanggung oleh Pergerakan Dakwah. Hal ini terlihat misalnya dalam Pemilu 2004 yang lalu. Negeri yang mayoritas dihuni oleh orang Islam ternyata pemilih partai-partai Islam dan partai yang berangkat dari ormas Islam baru didukung oleh 39,1 % pemilih.

Salah satu butir rekomendasi Sidang Komisi KUII IV meminta umat Islam untuk memilih kepala daerah yangb beriman, bertakwa, berakhlaq dan cerdas. Pilkada harus dijadikan sebagai kesempatan untuk memilih kepala daerah yang mendukung dakwah dan syari’ah. Ormas-Ormas Islam harus mendorong partai-partai Islam untuk mengusung kandidat yang peduli dengan masa depan dakwah, umat dan penegakan syari’ah.

Dengan demikian, mestinya ormas-ormas Islam pro aktif menggalang kerja sama, mendukung parpol Islam yang calonnya komit dengan dakwah dan penegakan syari’ah. Kalau tidak, apakah umat islam rela partai-partai sekulaer dan nasionalis memenangkan pertarungan, lantaran tiada atau kurangnya dukungan kita terhadap kandidat kepala daerah yang diusung partai islam? Jangan sampai, karena bukan “partai kita”, lantas ormas-ormas Islam tak mendukung calon yag, padahal –setidaknya- mendekati aspirasi umat. Tak jarang terjadi, karena bukan berasal dari “partai kita”, meskipun kandidat kepala daerah yang diusung partai tersebut bagus dari sisi dakwah dan komitmen terhadap syari’at, ormas yang bersangkutan tak meliriknya. Jeleknya lagi, justru mendukung sosok calon yang dimata masyarakat kebanyakan dinilai tidak bersih dan korup. Maka, kalau tak ada dukungan terhadap calon yang sesuai, kemudian yang terpilih bukan calon yang bersih, apalagi jauh komotmennya dari dakwah dan penegakkan syari’ah, ormas-ormas Islam turut bertanggung-jawab.

Semangat otonomi daerah, mestinya benar-benar dimanfaatkan oleh umat Islam untuk menentukan pemimpinnya. Jadi, khawatir akan dimanfaatkan, sebaliknya mengambil manfaat, sebagai peluang untuk mementukan pemimpin. Kalaupun dimanfaatkan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat, why not? (M.U. Salman)

Agar umat Islam tidak sekedar dimanfaatkan untuk selanjutnya ditinggal oleh kandidat yang terpilih, perlu kiranya ormas-ormas Islam membuat kontrak politik ataupun kontrak sosial, sehingga pemilih tidak akan ditinggalkan oleh kandidat terpilih, atau tidak membeli musang berbulu domba.

Peran serta ormas dan partai politik Islam dalam Pilkadal akan menunjukkan:

1. Kebersamaan umat dalam mengusung kebaikan, serta kerja sama di kalangan umat Islam.

2. Menguji penerimaan masyarakat terhadap dakwah.

3. Menguatkan eksistensi dakwah di tengah-masyarakat.

4. Memberikan paying politik, sosial, ekonomi, budaya dan paying-payung lainnya bagi pergerakan dakwah.

5. Membuka kesempatan untuk mengisi lembga-lembaga eksekutif.

6. Membuka interaksi langsung yang lebih luas kepada masyarakat.

By Warjoko

HP. 0815 4859 7881

Maraji’

Abu Ridha, ‘Amal Siyasi: Gerakan Politik dalam Dakwah, Bandung: Syamil Cipta Media, 2004.

Ruslan, Utsman Abdul Mu’iz, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Surakarta: Era Intermedia,2000.

Da’watuna edisi 8/ Th. 01?April-Mei 2005.

Sabili N0. 23 Th. XII 2 Juni 2005/24 Rabi’ul Akhir 1426 H.

Fungsi dan Kedudukan Wanita

Dalam sejarah umat manusia tidak ada agama ataupun sistem kehidupan yang lebih memperhatikan kadudukan seorang wanita selain Islam. Wanita pada masa lalu dianggap sebagai binatang demi pemuas seksual kaum lelaki. Wanita kadang diperjual-belikan. Bahkan pada masa jahiliyyah kaum wanita dianggap sama dengan harta benda yang dapat diwarisi, ataupun anak-anak wanita harus dikubur hidup-hidup karena ia sebagai sumber kehinaan bagi orang tua.

Islam datang untuk memuliakan kaum wanita, meski sebagian manusia meragukan kemanusiaan kaum wanita. Lebih tegas bisa kita baca pada ungkapan Yusuf Qardhawy,

Islam datang, sementara kebanyakan manusia mengingkari kemanusiaan wanita dan sebagian yang lain meragukannya. Ada pula yang mengakui akan kemanusiaannya, tetapi mereka menganggap wanita itu sebagai makhluk yang diciptakan semata-mata untuk melayani kaum laki-laki.

Maka merupakan ‘izzah dan kemuliaan Islam, karena dia telah memuliakan wanita dan menegaskan eksistensi kemanusiaannya serta kelayakannya untuk menerima taklif (tugas) dan tanggung-jawab, pembalasan, dan berhak pula masuk surga. Islam menghargai sebagai manusia yang terhormat. Sebagaimana kaum laki-laki, wanita juga mempunyai hak-hak kemanusiaan, karena keduanya berasal dari satu pohon dan keduanya merupakan dua bersaudara yang dilahirkan oleh satu ayah (bapak) yaitu Adam, dan satu ibu yaitu Hawa.

Keduanya berasal dari satu keturunan dan sama dalam karakter kemanusiaannya secara umum. Keduanya adalah sama dalam hal beban dan tanggung-jawab, dan di akherat kelak akan sama-sama menerima pembalasan. Demikian itu digambarkan oleh Al Qur’anul Karim sebagai berikut:

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Alloh menciptakan isterinya; dan dari keduanya Alloh mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An Nisa’ 4: 1).

Diin (agama) Islam sangat memuliakan kaum wanita dalam semua seluk kehidupan manusia.

Fungsi Wanita

Wanita diciptakan oleh Alloh SWT adalah untuk menjadi pendamping bagi seorang laki-laki. Firman-Nya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenis kaummu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Ruum, 30:21).

Dari ayat itu, Alloh menciptakan kaum wanita untuk menjadi isteri, yang darinya akan ditimbulkan rasa tenteram dan kasih sayang di antara manusia. Sementara di QS. An Nisaa’, 4: 1, kita dapat mengetahui bahwa dengan adanya laki-laki dan wanita, maka keduanya dapat berkembang-biak serta melestarikan jenis umat manusia.

Peran Wanita dalam Kehidupan Masyarakat

Wanita mempunyai beberapa peran. Peran-peran itu adalah sebagai ibu, anak dan isteri. Dalam kesempatan ini akan kita uraikan secara sekilas.

1. Wanita sebagai Ibu

Setiap wanita yang produktif akan berperan sebagai ibu. Ia akan mengalami masa-masa hamil, melahirkan, menyusui dan memelihara anak-anaknya. Wanita menanggung beban yang sangat berat.

Sungguh Islam telah menegaskan wasiat (pesan penting) terhadap wanita dan meletakkan wasiat itu setelah wasiat untuk bertauhid kepada Alloh dan beribadah kepada-Nya. Islam juga menjadikan berbuat baik kepada wanita itu termasuk sendi-sendi kemuliaan, sebagaimana telah menjadi hak seorang ibu itu lebih kuat daripada seorang ayah, karena beban yang amat berat ia rasakan ketika hamil, menyusui, melahirkan dan mendidik anak-anaknya. Inilah yang ditegaskan oleh Al Qur’an dengan diulang-ulang lebih dari satu surat agar benar-benar difahami oleh kita anak manusia. Sebagaiman firman Alloh SWT;

Dan kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman, 31:14).

Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan .... (QS Al Ahqaf, 46: 15).

Siapakah yang paling berhak saya pergauli dengan baik? Nabi bersabda, Ibumu, orang itu bertanya lagi, kemudian siapa lagi? Nabi bersabda, Ibumu, orang itu bertanya, kemudian siapa lagi? Nabi bersabda Ibumu, orang itu bertanya, kemudia siapa lagi? Nabi bersabda Ayahmu. (HR. Bukhari Muslim).

Peran wanita sebagai seorang ibu sangat mendapat perhatian dalam agama Islam, sehingga ada beberapa wanita-wanita yang namanya diabadikan oleh Alloh SWT dalam Al Qur’an seperti halnya Maryam binti Imran. Dan masih banyak lagi wanita-wanita yang dicatat dengan tinta emas sejarah peradaban Islam.

2. Wanita sebagai Anak

Pada masa Jahiliyyah, anak wanita dianggap sebagai sebuah aib, dan orang tuanya merasa terhina dengan kelahiran seorang anak perempuan, sehingga anak-anak wanita saat itu akan dikubur hidup-hidup.

Anak dalam kacamata Islam, merupakan amanah yang dikaruniakan oleh Alloh SWT kepada pasangan suami isteri untuk dibesarkan dan dididik dengan baik. Anak akan menjadi investasi yang sangat berharga bagi orang tua. Alangkah beruntungnya para orang tua yang mampu mendidik anak-anaknya dengan baik. Wanita yang seperti itu akan mewujud sebagai anak-anak sholehah yang akan mengharumkan diin (agama) ini dan darinya akan lahir generasi-generasi baru yang dicintai oleh Alloh SWT dan mereka pun amat sangant cintanya kepada Alloh.

3. Wanita sebagai Isteri

Setelah seorang wanita mencapai masa dewasa, maka ia akan dinikahi oleh seorang laki-laki. Ketika ijab-qabul telah terucap, maka bertambahlah status seorang wanita, dari seorang anak, ia akan menjadi seorang isteri dari laki-laki yang menjadi pilihannya. Status ini menjadikan seorang wanita berada dibawah pertanggungjawaban seorang laki-laki yang menikahinya. Mulai saat itu ia harus berbakti kepada suaminya.

Khatimah

Inilah sebagian dari peran dan fungsi seorang wanita dalam kehidupan masyarakat. Sebagai seorang Muslimah, maka ia perlu persiapkan generasi-generasi selanjutnya agar menjadi generasi-generasi yang lebih baik dari generasi kita. Agar Islam senantiasa memperoleh kemuliaan.

Kebakkramat, 3 Jumadil ‘Ula 1426 H

10 Juni 2005 M

Selasa, 28 April 2009

Menjemput Jodoh

MENJEMPUT JODOH

Rezeki, jodoh dan kematian adalah rahasia Alloh SWT bagi hamba-hamba-Nya. Dalam masalah jodoh (pasangan hidup) adalah sesuatu yang perlu diusahakan (takdir ikhtiari). Alloh SWT telah menyiapkan pasangan bagi setiap insan, tetpai siapa namanya, alamatnya dimana, tergantung pada usaha masing-masing individu.


A. Agar Jodoh Segera Datang

Menanti datangnya jodoh tanpa suatu usaha untuk mendapatkannya dengan cara-cara yang halal merupakan tindakan yang sepantasnya dilakukan oleh setiap Muslim. Agar jodoh yang diharapkan segera kunjung ketemu, maka kita perlu untuk:

1. Meningkatkan kualitas iman dan ilmu

Pada umumnya, manusia menginginkan untuk tetap dalam kebaikan. Orang tua juga tetap menginginkan agar anak-anaknya, setelah menikah dengan pasangannya, tetap dalam kebaikan. Bahkan penjahat sekalipun tidak menginginkan anaknya nanti mengikuti jejak orang tuanya. Dari gambaran umum ini, kita dapat mengetahui bahwa, setiap orang menyukai orang-orang yang baik (sholeh).

Ilmu pengetahuan juga akan dapat mengangkat derajat seorang Mu'min di sisi Alloh SWT. Di samping itu ilmu pengetahuan juga diperlukan dalam menghadapi kehidupan rumah tangga nantinya.

Rasululloh SW bersabda:

"Siapa yang meniti jalan untuk menuntut ilmu, Alloh akan memudahkan baginya jalan menuju syurga. Para malaikat selalu meletakkan sayapnya menaungi orang-orang yang menuntut ilmu karena senang dengan perbuatan mereka. Seorang alim dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi, serta ikan-ikan di dalam air. Kelebihan seorang 'alim (berilmu) dengan ahli ibadah bagaikan kelebihan sinar bulan atas bintang-bintang." (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi).

2. Meningkakan Penampilan

Manusia mempunyai kecenderungan pada hal-hal yang indah. Keindahan seseorang terpancar dari kerapian dan kebersihannya. Pakaian merupakan bentuk pemancaran dari sifat kerapian dan kebersihan pribadi. Pakaian yang kita pakai tidak harus yang mahal atau up to date.

Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mempunyai kecenderungan pada hal-hal yang indah. Keindahan itu dapat terpancar dari kerapian dan kebersihan seseorang. Sekalipun tidak begitu cantik, namun seorang wanita yang berpakaian rapi, bersih dan sopan, akan terlihat indah dan sangat berwibawa. Begitu juga laki-laki yang tidak begitu ganteng, namun dengan pakaian rapi, bersih dan sopan, akan tampak menarik dan berwibawa.[1]

Hal ini terpancar lewat pakaian yang dikenakannya ketika keluar dari rumah. Sekalipun pakaiannya terlihat up to date serta mahal, tetapi jika tidak dapat menutup tubuhnya, jelas hal ini bertolak belakang dengan gemerlap kemewahan yang ditampakkannya.

Yang tak kalah pentingnya, tampakkan wajah berseri dan penuh persahabatan. Wajah berseri seolah menunjukkan pada dunia kesan damai, aman dan tenteram. Sebaliknya wajah masam dan merenggut (seolah sarat beban) akan menimbulkan kesan buruk dan tidak bersahabat. [2]

3. Bergaul dengan orang-orang yang baik

Teman bergaul sangat besar pengaruhnya pada pembentukan mental seseorang. Di samping itu teman bergaul juga menentukan penilaian masyarakat. Ketika kita bergaul dengan para penjudi maka masyarakat akan mempersepsikan diri kita sebagai penjudi. Begitu juga jika teman-teman kita orang-orang yang aktif berdakwah, maka kita akan dipersepsikan sebagai orang-orang yang aktif dalam medan dakwah.

Lingkungan pergaulan pengaruhnya sangat besar dalam pembentukan mental seseorang. Bahkan memberikan pengaruh pada penilaian masyarakat, artinya sekalipun kita baik, namun jika bergerombol dengan ahli judi dan mabuk-mabukan, maka tetap saja, kita dianggap sama dengan mereka dan tidak mustahil lambat-laun akan terpengaruh juga. Terbukti banyak anak yang di keluarganya baik, namun setelah terjun di lingkungan pergaulan , mereka jadi beringas dan garang. Karena itu, hendaklah senantiasa berada di lingkungan pergaulan yang islami.[3]

Rasululloh SAW bersabda, ”Seseorang itu mengikuti agama sahabat karibnya.oleh karena itu hendaknya diperhatikan dengan siapakah ia berteman karib” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi).

Rasululloh juga pernah memberikan perumpamaan dalam memilih sahabat.” Perumpamaan sahabat yang baik dan buruk itu bagaikan pembawa misk (minyak kasturi) dan peniup api. Pembawa misk ada kalanya memberi kepadamu, atau kamu membeli kepadanya, atau kamu dapat mencium bau harumnya. Sedangkan peniup api, kalau tidak membakar pakaianmu maka kamu akan mendapatkan bau busuk darinya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang sahabat yang baik akan senantiasa memberikan nasihat. Pada generasi shahabat, kita dapat melihat persaudaraan antara Salman Al Farisi dengan Abu Darda’, Abu Juhaifah bin Abdulloh r.a. pernah bercerita bahwa Nabi SAW telah mengikat persaudaraan Islam antara Salman Al Farisi dengan Abu Darda’. Ketika Salman berziarah (berkunjung) ke rumah Abu Darda’, dilihatnya Ummu Darda’ mengenakan pakaian kerja yang kusut masai. ”Mengapa engkau tidak berhias?” tanya Salman. ”Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak butuh lagi pada dunia,” jawab Ummu Darda’. Kemudian datanglah Abu Darda’. Tatkala dihidangkan makanan, ia berkata, ”Makanlah, aku sedang puasa.” ”Aku tidak akan makan jika engkau tidak makan”, jawab Salman. Akhirnya mereka makan berdua. Tatkala malam tiba dan telah datang waktu tidur, Abu Darda’ bangun hendak shalat malam, tetapi segera dicegah oleh Salman, ”Tidurlah”, kata Salman. Mereka pun tidur. Ketika tiba akhir malam, Salman membangunkannya. ”Kini saatnya sholat bermalam dan ia pun menunaikan sholat malam. ”Sesungguhnya, bagi Rabbmu ada hak dan atas badanmu ada hak dan bagi keluargamu ada hak. Maka tunaikanlah hak masing-masing”, kata Salman kemudian. Tatkala berita itu sampai kepada Rasululloh SAW, beliau bersabda, ”benar Salman”. (HR. Bukhari).

Demikian juga persahabatan Salman Al Farisi dengan Abdulloh bin Salam.

Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa pada suatu saat salah seorang di antara mereka berkata kepada yang lain, ”Apabila Engkau mati sebelum aku, maka temuilah aku dan beritahukan kepadaku tentang apa yang telah Engkau terima dari Rabb-mu. Demikian pula, apabila aku mati sebelum Engkau, maka aku akan menemuimu dan akan memberitahukan kepadamu tentang hal itu.” Temannya bertanya, ”Bisakah yang sudah mati menemui orang yang masih hidup?” Bisa, sebab ruh mereka dalam syurga dapat pergi ke mana saja ia suka,” jawabnya. Ketika salah seorang di antara keduanya meninggal, ruhnya menemui teman yang masih hidup di waktu tidur dan berkata, ”Bertawakkallah Engkau kepada Alloh. Sesudah itu cukuplah Engkau merasa bahagia dengan hidupmu di dunia ini.” [4]

Seorang sahabat bertanya kepada Rasululloh SAW, ”Siapakah sahabat yang paling baik bagi kami?” ”Seseorang yang apabila kamu melihatnya, kamu akan teringat kepada Alloh SWT. Apabila kamu mendengar pembicaraannya pengetahuanmu mengenai Islam akan bertambah. Dan apabila kamu melihat kelakuannya, kamu akan teringat hari akhirat.” [5]

B. Tempat Jodoh yang Baik

Kita dapat saja bertemu daengan calon pasangan di mana saja. Di tempat kuliah, kursus, pasar, mall, bus, kereta api dll. Tetapi untuk mendapatkan jodoh yang baik, tentu saja bisa ditemukan di tempat-tempat yang baik pula. Susah dech untuk mendapatkan jodoh yang baik kalau mencarinya di night club. Adapun tempat-tempat untuk mendapatkan jodoh yang baik antara lain adalah:

a. Lembaga-Lembaga Pendidikan yang Islami

Pada saat sekarang lembaga pendidikan Islami baik formal maupun nonformal sangat banyak. Meski tidak ada jaminan bahwa seluruhnya baik. Sambil belajar kita bisa saja menemukan jodoh di tempat ini ataupun dengan para ustadz/ah di lembaga pendidikan tersebut.

b. Majelis-majelis Ta’lim

Majelis ta’lim merupakan majelis yang sangat mulia, karena yang hadir akan senantiasa mendapat curahan rahmat serta disebut namanya oleh Alloh SWT. Orang-orang yang datang ke majelis-majelis ta’lim pada dasarnya berusaha untuk memperbaiki hati serta untuk menimba ilmu pengetahuan. Orang yang aktif menghadiri majelis-majelis ta’lim akan selalu berusaha untuk mendekatkan hubungan dengan Alloh SWt, serta memiliki akhlaq yang terpuji.

Rasululloh SAW bersabda, ”Tidak ada suatu kaum yang mengingat Alloh dalam suatu majelis melainkan malaikat akan berkerumun mengelilingi, rahmat akan bercucuran ke atasnya dan Alloh akan mengingati mereka dalam majelis para malaikat. Adakah suatu kehormatan yang lebih terhormat bagi para mu’min, daripada yang Alloh SWT berikan dengan mengingati mereka dalam majelis-Nya?” Dalam sebuah hadits Rasululloh SAW bersabda, ”Sekumpulan malaikat diutus kepada orang-orang yang mengingat Alloh SWT dengan ikhlas, kemudian mereka berkata, Alloh telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan telah mengantikan amalanmu yang buruk dengan yang baik.[6]

Rasululloh SAW bersabda, ”Apabila kalian melewati taman-taman syurga, maka ambillah selalu hasilnya.” Para sahabat bertanya, ”Apakah taman-taman syurga itu ya Rasululloh?” Beliau menjawab, ”Majelis-majelis ilmu.” [7]

Dalam hadits lain Rasululloh SAW bersabda, ”Sesungguhnya Luqman al Hakim berkata kepada anaknya, ”Wahai anakku, hendaknya Engkau menyertai para ulama dan dengarkan ucapan-ucapan ahli hikmah, karena sesungguhnya Alloh SWT menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan.”[8]

Abu Hurairah r.a. berkata, ”Suatu majelis yang mengingat dan membesarkan Alloh SWT akan memancarkan nur yang dapat dilihat oleh ahli-ahli langit sebagaimana bintang-bintang bercahaya dilihat ahli-ahli bumi.”[9]

Pernah dalam suatu peristiwa, Abu Hurairah pergi ke pasar dan mengumumkan kepada semua orang, ”Wahai saudara-saudara, mengapa kamu duduk-duduk saja di sini padahal warisan Rasululloh SAW sedang dibagi-bagikan di masjid, tetapi tidak ada satu barang pun yangs sedang dibagikan di sana, sehingga mereka pulang dengan hati kesal. Abu Hurairah r.a. bertanya, ”Ada apa di sana?” jawab mereka, ”Sebagian orang sedang membaca al Qur’an dan sebagian lainnya sedang berdzikir memuji dan membesarkan Alloh.” Abu Hurairah r.a. berkata, ”Itulah yang dimaksud dengan warisan Rasululloh SAW.”[10]

Orang-orang yang aktif menghadiri majelis-majelis ta’lim adalah orang-orang yang berusaha untuk mendekatkan dirinya kepada Alloh SWT serta untuk mensucikan hatinya. Dengan hal itu, orang-orang yang aktif di majelis-majelis ta’lim merupakan orang-orang yang sholeh/sholehah, sehingga mereka adalah calon pendamping hidup/pasangan yang baik.

c. Tempat Kerja yang Islami

Pada saat sekarang tempat kerja/lapangan kerja yang Islami, sudah berkembang di berbagai daerah dan sektor kehidupan. Tempat-tempat kerja yang islami seperti perbankan syari’ah, koperasi syari’ah, lembaga pendidikan Islam, rumah sakit Islam atau perusahaan-perusahaan yang menerapkan pola Islam, tentu akan membawa para karyawan/pegawainya pada nuansa Islami, maka mendapatkan jodoh di tempat kerja seperti ini cukup ideal.

d. Organisasi Islam

Organisasi yang berbasis Islam akan membimbing para anggotanya untuk senantiasa hidup sesuai dengan jalan hidup yang Islami, sehingga para anggotanya mempunyai ghirah (semangat) jihad yang tinggi serta selalu berusaha untuk menegakkan kalimatulloh di muka bumi.

Dalam organisasi Islam antara ikhwan (putra) dengan akhwat (putri) terpisah meski komunikasi dan kerjasama tetap dijaga. Di samping itu organisasi da’wah tetap peduli dengan kebutuhan para anggotanya untuk mendapatkan jodoh, tentu saja tanpa ada pemaksaan terhadap hak-hak individu anggota.



[1] Abu Al Ghifari, Bila Jodoh Tak Kunjung Datang, Bandung: Mujahid Press, 2002., h. 71.

[2] Ibid., h. 72.

[3] Ibid., h.72.

[4] Cahyadi Takariawan, Pernik-Pernik Rmah Tangga Islami, Surakarta: Era Intermedia, 2004.

[5] Targhib dalam Al Kandahlawi, Muhammad Zakariya, Himpunan Fadhilah Amal, Yogyakarta: Penerbit Ash Shaff, 2000., h. 381.

[6] Al Kandahlawi, Muhammad Zakariya, Himpunan Fadhilah Amal, Yogyakarta: Penerbit Ash Shaff, 2000., h. 381.

[7] HR. Thabrani, Targhib. Op. Cit., h. 380.

[8] Targhib dlm Ibid..

[9] Op.Cit., h. 381.

[10] Ibid.

Senin, 27 April 2009

Hakikat Cinta

Perasaan cinta kepada Alloh merupakan dasar untuk menjadikan amal yang sholeh dan ibadah yang benar. Amal perlu dilandasi oleh perasaan cinta, tanpa rasa cinta, amal akan menjadi rusak. Cinta kepada Alloh melahirkan sikap rela, ridha dan ikhlash dalam beribadah, melaksanakan semua perintah-Nya. Bahkan rasa cinta mampu untuk membangkitkan semangat berkurban (tadhiyah) baik harta maupun jiwa (amwal wa anfus) dalam rangka mengikuti perintah yang kita cintai.
Alloh berfirman:

. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al Hujurat, : 15).

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah, : 111).

Cinta akan mempengaruhi kehidupan seseorang. Bukankah kita lihat, seorang pemuda tiba-tiba merubah penampilannya menjadi lebih rapi ketika ia telah merasakan benih-benih cinta kepada lawan jenisnya. Cinta kepada Alloh akan membawa ketenangan, kedamaian dan keselamatan. Cinta kepada selain Alloh membawa kepada cinta buta (al isyqu) yang tak terkendali. Cinta kepada makhluk membawa ketidakpastian, penasaran dan kesenangan semu. Cinta kepada benda akan musnah, manakala benda tersebut hilang, rusak atau musnah. Terkadang juga disertai perasaan sedih. Sedangkan cinta kepada Alloh akan kekal dan abadi sebagaimana kekal dan abadinya objek cinta itu, Alloh SWT.
Fithrah manusia cenderung untuk mencintai istri-istri, anak-anak, harta benda. Tetapi cinta ini tidak boleh melebihi derajat kecintaan kepada Alloh, Rasul-Nya dan jihad fii sabilillah. Firman-Nya:
Artinya: “ Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. At Taubah 9:24).

A. Perasaan Cinta Lahir dari Ilmu
Bukti keutamaan ilmu adalah ia mampu menghasilkan keyakinan yang menyebabkan hati hidup dan tenteram. Juga yang menyebabkan Alloh memuji orang-orang yang bertaqwa yang mendapatkan petunjuk melalui kitab-Nya.[1]
Perasaan cinta tidak akan ada jika seseorang tidak mengenal (ma’rifat) dengan objek yang dicintainya. Pengenalan terhadap objek akan menghasilkan ilmu, baik ‘ainul yaqin ataupun haqqul yaqin.
Sesungguhnya orang yang berilmu dan yakin, yang telah dianugrahi Alloh, kepekaan jiwa yang tajam dan cahaya yang terang benderang , tidak akan kabur baginya untuk memilih mana yang haq dan mana yang batil. Ia tidak akan terpengaruh oleh propaganda kesyubhatan yang ada di hadapannya. Seperti halnya ia tidak akan terseret oleh nafsu syahwat ke jurang kenistaan. Ia bisa tegar seperti itu karena berbekal dengan dua senjata yang kuat yang mampu dipergunakan untuk menahan bala tentara kebatilan. Diapun mampu mencegah invasi bala tentara syahwat dengan senjata kesabaran dan invasi bala tentara syubhat dengan senjata keyakinan.[2]
Ibnul Qayyim berkata, “Keyakinan dan kecintaan merupakan pilar keimanan. Atas kedua pilar itulah keimanan dibangun. Berkat kedua pilar itu pula keimanan bisa tegak. Kedua pilar itulah yang menyuplai semua amalan hati dan amalan badan. Dari kedua pilar itu amalan tersebut muncul. Jika kedua pilar itu lemah, maka semua amalan tersebut juga lemah. Sebaliknya, jika kedua pilar itu kuat, maka semua amalan tersebut juga kuat. Sebenarnya alat yang dipergunakan untuk membuka semua pintu menuju kepada tingkatan-tingkatan orang-orang yang menempuh perjalanan menuju Alloh dan maqam-maqam terminal-terminal) orang-orang yang arif bijaksana adalah kedua pilar tersebut. Kedua pilar itu membuahkan semua karya yang baik, ilmu yang bermanfaat dan petunjuk (pedoman) yang lurus.”[3]

B. Cinta merupakan Fitrah Manusia
Manusia terlahir berkat rasa cinta kedua orang tuanya sebagai perantara cinta Alloh kepada manusia. Manusia mencintai istri-istrinya, anak-anaknya, serta harta yang dimilikinya. Hal ini adalah fitrah yang dimiliki oleh manusia. Sebagaimana firman Alloh SWT :
Artinya: “ Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. At Taubah 9:24).
Setiap manusia memerlukan rasa cinta kepada manusia lain. Cinta ini dapat berupa cinta kepada keluarganya,cinta kepada saudara-saudaranya, cinta kepada sesama umat manusia. Perasaan ini tidak dapat dihilangkan begitu saja dalam diri manusia. Perasaan untuk dicintai dan mencintai ini merupakan perasaan yang sesuai dengan fitrah manusia untuk saling mencintai.
Islam memandang bahwa perasaan cinta sebagai sesuatu hal yang harus mendapatkan salurannya dan tidak malah dihambat ataupun dimatikan. Pernikahan merupakan jalan yang sesuai dengan ajaran agama Islam untuk melanggengkan perasaan cinta antara dua insan manusia yang saling membutuhkan dan melengkapi.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[4], maka (kawinilah) seorang saja], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. QS. An Nisaa’ : 3

C. Penyebab Adanya Rasa Cinta
Tiada asap tanpa ada api. Sesuatu ada karena ada yang menyebabkan. Begitulah bunyi hukum kausalitas (sebab akibat). Perasaan cinta tidak muncul dengan begitu saja, tetapi ada hal-hal yang menyebabkan timbulnya perasaan cinta itu. Sebab-sebab timbulnya perasaan cinta tersebut adalah:
1. Secara fitrah manusia suka kepada keindahan
Alloh memberikan fitrah kepada manusia untuk suka kepada keindahan sehingga ia mudah untuk suka dan kagum pada keindahan, kecantikan atau ketampanan seseorang. Alloh menciptakan keindahan dalam pandangan manusia karena Alloh itu indah dan mencintai keindahan.
2. Manusia adalah makhluk yang lemah dan tak berdaya.
Kelemahan manusia dan ketidakberdayaannya menyebabkan manusia untuk mengikuti Dzat yang memiliki kekuatan, keperkasaan. Dialah Alloh SWT, Al Malik, Al Aziz.

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah." Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi
Maha Perkasa. (QS. Al Hajj: 40)
3. Manusia cenderung membutuhkan orang lain.
Manusia merupakan makhluk yang lemah. Ia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain. Bahkan sejak masih di dalam kandungan, kita sudah membutuhkan orang lain.
Seorang ibu ketika hamil membutuhkan seorang dokter untuk senantiasa memeriksa kondisi kandungannya. Pada saat mau melahirkan, membutuhkan dokter maupun bidan untuk membantu proses kelahiran sang bayi. Saat kita masih kanak-kanak sangat membutuhkan kehadiran dan pertolongan orang lain untuk memenuhi kebutuhan kita. Pada saat remaja kita juga membutuhkan kehadiran orang lain. Selama kita di dunia ini sangat membutuhkan pertolongan maupun keterlibatan orang lain. Inilah hakekat manusia sebagai makhluk sosial.
[1] Qardhawy, Yusuf, Jalan Menuju Hidayah : Kehidupan Ruhiyah Salafus Shalih Kiat-Kiat Meningkatkan Kehidupan Ruhiah, Yogjakarta : Mardhiyah Press, h. 171.
[2] Ibid., h. 174.
[3] Ibid., h. 175.
[4] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam melayani isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.